Jumat, 14 Desember 2012

SEKILAS TENTANG JABARIYAH DAN QADARIYAH


SEKILAS TENTANG JABARIYAH DAN QADARIYAH
Uraian di atas merupakan dialog antara Jabariyah dan Qadariyah. Yang pertama menganggap manusia sebagai objek dan yang kedua menempatkan manusia sebagai aktor, subjek. Implikasi psikologinya, Jabariyah memosisikan manusia sebagai pihak yang statis, lemah dan tak berdaya, sementara Qadariyah meletakkan manusia sebagai faktor penentu bagi dirinya sendiri, selalu aktif, dinamis, dan enerjik. Istilah Qadariyah dalam kancah sejarah perkembangan teologi Islam timbul pada masa Bani Umayah. Penelitian para ahli menunjukkan bahwa munculnya paham Qadariyah untuk pertama kali dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Jauhani al-Bashri dan Ghailan al-Dimasyqi yang mengambil aliran ini dari seorang Kristen yang telah memeluk Islam di Irak yaitu Abu yunus Sanusiyah dari al-Asawirah.
Pandangan teologi Ghailan yang berkaitan dengan paham al-Ikhtiyar sejalan dengan paham Qadariyah. Yaitu seorang berkuasa atas dirinya sendiri, dia mengerjakan kebaikan dengan kehendak dan kemampuannya saja, meninggalkan kejelekan dan memilih berbuat kebaikan dengan kehendak dan kekuasaannya sendiri. Paham bahwa manusia memiliki power, qudrah, kekuasaan, kemampuan, kekuatan melaksanakan kehendaknya, yang disebut free will dan free act.
Garis besar pikiran Ghailan al-Diamsyqi berkisar tentang: qudrah, kemampuan manuisa atau ikhtiyar manusia; iman cukup dengan ma’rifah dan pengakuan secara lisan, amal perbuatan manusia bukan merupakan bagian dari iman seseorang; kemakhlukan Al-Qur’ân; nafy shifah; otoritas kepemimpinan bukan hanya milik kaum Quraisy, namun terbuka bagi setiap muslim yang berpegang teguh kepada Al-Qur’ân dan al-Sunnah serta restu umat Islam. Namun, pandangan yang menonjol mengenai al-qadar. Pendirian tersebut yang mengantarkannya kepada kematiannya. Timbul suatu pertanyaan dari mana Ghailan memperoleh pandangan Qadariyah tersebut? Para ahli sejarah ilmu kalam diantaranya Ibnu Nabatah mengatakan bahwa Ghailan adalah orang yang pertama sekali membicarakan mengenai al-qadar.
Menurut al-Maqrizi orang yang pertama kali memperbincangkan al-qadar adalah Ma’bad bin Khalidal-Juhani. Namun pendapat ekstrem Ibnu al-Murtadha mengatakan bahwa Ghailan memperoleh pandangan tentang al-qadar dari al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah. Al-Maqrizi menmbahkan bahwa asal mula pembicaraan mengenai al-qadar dating dari seorang Irak Kristen yang telah memelik Islam; Abu Yunus. Jika benar, maka sumber pandangan Ghailan tentang al-qadar datang dari umat lain yang meresap kedalam Islam.
Selanjutnya wacana Qadariyah selalu menjadi ajang perdebatan dikalangan teolog Islam. Al-Jubbai’ seorang tokoh Mu’tazilah menerangkan bahwa manusialah yang berkuasa dan bebas menciptakan perbuatan-perbuatannya. Daya istitha’ah, power untuk mewujudkan keehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapatnya sejalan dengan tokoh Mu’tazilah yang lain, Abdul Jabbar, bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Tuhan menciptakan daya pada manusia dan pada daya inilah bergantung perbuatan, bukan Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia.
Sementara Asy’ariyah berpendapat sebaliknya dan dekat kepada Jabariyah, bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Manusia karena kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al-asy’ari mengajukan konsep kasb bahwa sesuatu timbul dari al-muuktasib atau yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan. Kasb mengandung arti keaktifan dan mengandung arti bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Tetapi dengan keterangan bahwa kasb adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan. Akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Menurut Asy’ari untuk terwujudnya perbuatan perlu adanya dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Namun yang efektif dan aktif akhirnya daya Tuhan juga. Jadi sangat berlainan dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan. Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan, ia menyebut adanya dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi bukan sebelum perbuatan seperti kata Mu’tazilah.
Di atas ditegaskan bahwa Qadariyah dalam arti manusia bebas dalam kehendak dan kekuasaannya, bukan berarti kebebasan dan kekuasaan yang mutlak. Akan tetapi, kebebasan dan kekuasaan yang dibatasi oleh sunnatullah atau hukum alam. Dengan demikian, manusia tidak mutlak bebas dan berkuasa. Karena manusia sebagai bagian dari alam tidak mungkin mampu bertahan dengan perubahan hukum alam. Mislanya sekalipun kecenderungan manusia ingin hidup terus, namun hukum alam akan menentukan lain.
QADARIYAH
Secara etimologi Qadariyah berasal dari kata qadara-yaqdiru-qudrah. Akar kata itu mempunyai arti; kuasa, menentukan, menetapkan, meninggikan, menyamakan, dan mengukur. Qadara ‘ala al-syai, berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Qadara ‘ala al-syai bi al-sya, menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang  lain. Al-Qadariyah ialah suatu aliran dalam wacana teologi yang mengatakan bahwa hamba Allah SWT mempunyai kekuasaan mandiri tanpa bergantung pada Tuhan. Aliran ini dinamakan juga dengan aliran Ikhtiyariyah. Derivasi Ikhtiyariyah berasal dari akar kata ikhtara-yakhtaru-ikhtiyar, yang bermakna pilihan atau daya upaya. Akar kata Ikhtiyariyah tersebut serupa dengan bentuk dan variasi dari kata khaara-yakhiiru-khairan, yang berarti baik, memilih yang baik. Jika dikaitkan dengan pengertian teologis, Ikhtiyariyah (free will) dapat diartikan sebagai kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam memilih serta menentukan pendapatnya dalam memastikan apa saja yang dianggap lebih baik. Dalam sejarahnya, Qadariyah adalah satu dari aliran yang ada dalam kancah pemikiran Islam, muncul sebagai reaksi dari aliran Jabariyah.
Beragamnya aliran dalam Islam telah dipredeksi sebelumnya oleh Rasulullah SAW: “Suatu saat umatku akan menyerupai Bani Israil yang terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semkuanya masuk neraka, kecuali satu”. Ketika salah seorang menanyakan siapa yang satu tersebut, Nabi menjawab; “Yang aku aku dan para sahabatku pedomani”. Riwayat lain menyatakan bahwa: “Bani Israil akan terpecah menjadi tujuh puluh satu firqah, dan umatku akan terkotak-kotak menjadi tujuh puluh dua kelompok”. Kedua riwayat tersebut memstikan terjadinya banyak kelompok di tubuh umat Islam pada masa yang akan datang. Bila melihat kenyataan yang ada sekarang, prediksi yang disabdakan oleh Nabi benar adanya.
Munculnya aliran dalam Islam bermula sejak wafatnya Nabi SAW. Ketika terbetik berita bahwa Nabi meninggal, sebagian orang tidak mempercayainya dan tepat menganggap Nabi masih hidup, mereka mengatakan Allah telah mengangkatnya sebagaimana Isa ibnu Maryam diangkat oleh Allah SWT. Kemudian Abu Bakar al-Shiddiq menyatakan:
        انك ميت و انهم ميتون
sesungguhnya engkau akan mati dan merekapun mati” (QS. Al-Zumar: 3), lalu Abu Bakar menegaskan dihadapan mereka:
من كان يعبد محمدا فان محمدا قد مات, و من كان يعبد رب محمد فانه حي لا يموت
siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal, dan siapa yang menyembah Tuhannya Muhammad, sesungguhnya Ia tetap hidup”.
Sejak saat itulah dimulai perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang terus beruntun. Berbagai persoalanpun muncul: mengenai pemakaman Nabi; pembicaraan khalifah yaitu pengganti Nabi; dan segala permasalahan dari yang ringan hingga yang berat. Kemudian disusul dengan perbedaan ijtihad dikalangan sahabat, terutama berkaitan dengan kematian Utsman. Masalah ini makin melebar, ketika Ali bin Abi Thalib menghadapi mereka yang menuntut darah Utsman. Akibat tuntutan pihak keluarga Utsman dirasa tidak dapat dipenuhi oleh Ali, maka terjadilah perang saudara, yaitu perang Jamal. Disebut perang Jama, karena ‘Aisyah (istri Nabi) mengendarai unta (Jamal), Thalhah dan Zubair gugur. Kemudian perang antara Mu’awiyah dengan Ali di Shiffin, kemenangan hampir diraih Ali, jika ‘Amr bin Ash tidak menawakan tahkim. Ali menerimanya meskipun tidak sepenuhnya disetujui oleh pengikutnya. Akhirnya ‘Amr bin Ash memenangkan tahkim, kridibilitas Ali dimata sebagian pengikutnya berkurang, mereka yang tidak setuju dengan keputusannya, keluar dari barisan Ali, yang disebut kaum Khawarij. Kelompok inilah yang pertama muncul dalam Islam mereka umumnya ahli ibadah yang fanatik, dan memiliki pendirian yang kukuh, namun kurang memiliki pandangan ke depan. Kelompok ini mengkafirkan Utsman, Ali dan tokoh-tokoh yang menyetujui tahkim, mereka dianggap sebagai sumber fitnah. Kriteria kafir melebar kepada setiap orang yang berbuat dosa besar. Mereka yang terlibat tahkim telah berbuat dosa besar dan kafir. Oleh karena itu kelompok ini berencana membunuh mereka, terutama Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah yang dianggap sebagai biang keladinya.
Sementara pengikut yang masih loyal kepada Ali dinamakan Syi’ah, mereka setia membela Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya yang menjadi permasalahan utama berkisar tentang pembuat dosa besar. Saat hasan al-Bashri ditanya tentang pembuat dosa besar, Washil bin Atha menjawab, mereka berada di antara dua posisi, manzilah bainal manzilatain, sebelum Hasan al-Bashri sempat menjawabnya, Washil al-Bashri memisahkan diri dari kelompok Hasan al-Bashri, maka timbullah Mu’tazilah.
Masalah pembuat dosa besar berkaitan dengan perbuatan manusia. Apakan perbuatan manusia merupakan perbuatan manusia sendiri atau perbuatan Tuhan. Maka tampillah Jahm bin Sofwan dengan faham Jabariyah dan berpendapat bahwa manusia selalu dalam keadaan terpaksa, dia tidak kuasa menentang kehendak Tuhan. Manusia bagaikan bulu atau kapas yang diterbnagkan di udara. Manusia mneurut pandngan Jahm bin Sofwan ibarat wayang yang digerakkan oleh dalangnya, dia tidak memiliki kehendak bebas, semua perbuatan bersumber dari Tuhan. Disamping pandangan Jabariyah ini, Jahm juga berpendapat bahwa  tidak memiliki sifat, paham nafy shifah. Sebab dengan memberikan sifat kepada Tuhan berarti menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ia menolak sifat Tuhan seperti alîm, qadîr, mutakallim dan lain sebagainya.
Sebagai tanggapan dari paham yang dipelopori Jahm itu, muncul kelompok yang memiliki paham sebaliknya, yaitu paham Qadariyah, atau mazhab al-ikhtiyar. Mazhab ini untuk pertama kali digagas oleh Ghailan dan Ma’bad. Tokoh ini berpendapat bahwa manusia tidak berada dalam posisi terpaksa dalam aktifitasnya, menurut pandangan mereka manusia bebas memilih dan menentukan semua perbuatannya. Mengerjakan atau tidak melakukan suatu perbuatan, semuanya tergantung pada manusia itu sendiri, tidak ada urusan dengan kehendak Tuhan. Berjalan, berhenti, makan , minum, tidur, bangun, dan lain sebagainya, semua itu tergantung pada kehendak dan kemampuan masing-masing individu manusia sendiri. Manusia mampu memilih apa yang mesti dikerjakan dan apa yang harus dihindari. Sebab bila semua aktifitas manusia telah ditentukan dan dipaksakan oleh kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, berarti manusia sama dengan robot. Jika demikian, syariat yang dibebankan kepada setiap manusia tidak ada artinya, demikian juga adanya pahala dan siksa akan kehilangan relevansinya.[1]

           



[1] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), Ed. I, Cet. 2, h. 477-482.

1 komentar: