Jumat, 14 Desember 2012

SEKILAS TENTANG JABARIYAH DAN QADARIYAH


SEKILAS TENTANG JABARIYAH DAN QADARIYAH
Uraian di atas merupakan dialog antara Jabariyah dan Qadariyah. Yang pertama menganggap manusia sebagai objek dan yang kedua menempatkan manusia sebagai aktor, subjek. Implikasi psikologinya, Jabariyah memosisikan manusia sebagai pihak yang statis, lemah dan tak berdaya, sementara Qadariyah meletakkan manusia sebagai faktor penentu bagi dirinya sendiri, selalu aktif, dinamis, dan enerjik. Istilah Qadariyah dalam kancah sejarah perkembangan teologi Islam timbul pada masa Bani Umayah. Penelitian para ahli menunjukkan bahwa munculnya paham Qadariyah untuk pertama kali dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Jauhani al-Bashri dan Ghailan al-Dimasyqi yang mengambil aliran ini dari seorang Kristen yang telah memeluk Islam di Irak yaitu Abu yunus Sanusiyah dari al-Asawirah.
Pandangan teologi Ghailan yang berkaitan dengan paham al-Ikhtiyar sejalan dengan paham Qadariyah. Yaitu seorang berkuasa atas dirinya sendiri, dia mengerjakan kebaikan dengan kehendak dan kemampuannya saja, meninggalkan kejelekan dan memilih berbuat kebaikan dengan kehendak dan kekuasaannya sendiri. Paham bahwa manusia memiliki power, qudrah, kekuasaan, kemampuan, kekuatan melaksanakan kehendaknya, yang disebut free will dan free act.
Garis besar pikiran Ghailan al-Diamsyqi berkisar tentang: qudrah, kemampuan manuisa atau ikhtiyar manusia; iman cukup dengan ma’rifah dan pengakuan secara lisan, amal perbuatan manusia bukan merupakan bagian dari iman seseorang; kemakhlukan Al-Qur’ân; nafy shifah; otoritas kepemimpinan bukan hanya milik kaum Quraisy, namun terbuka bagi setiap muslim yang berpegang teguh kepada Al-Qur’ân dan al-Sunnah serta restu umat Islam. Namun, pandangan yang menonjol mengenai al-qadar. Pendirian tersebut yang mengantarkannya kepada kematiannya. Timbul suatu pertanyaan dari mana Ghailan memperoleh pandangan Qadariyah tersebut? Para ahli sejarah ilmu kalam diantaranya Ibnu Nabatah mengatakan bahwa Ghailan adalah orang yang pertama sekali membicarakan mengenai al-qadar.
Menurut al-Maqrizi orang yang pertama kali memperbincangkan al-qadar adalah Ma’bad bin Khalidal-Juhani. Namun pendapat ekstrem Ibnu al-Murtadha mengatakan bahwa Ghailan memperoleh pandangan tentang al-qadar dari al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah. Al-Maqrizi menmbahkan bahwa asal mula pembicaraan mengenai al-qadar dating dari seorang Irak Kristen yang telah memelik Islam; Abu Yunus. Jika benar, maka sumber pandangan Ghailan tentang al-qadar datang dari umat lain yang meresap kedalam Islam.
Selanjutnya wacana Qadariyah selalu menjadi ajang perdebatan dikalangan teolog Islam. Al-Jubbai’ seorang tokoh Mu’tazilah menerangkan bahwa manusialah yang berkuasa dan bebas menciptakan perbuatan-perbuatannya. Daya istitha’ah, power untuk mewujudkan keehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapatnya sejalan dengan tokoh Mu’tazilah yang lain, Abdul Jabbar, bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Tuhan menciptakan daya pada manusia dan pada daya inilah bergantung perbuatan, bukan Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia.
Sementara Asy’ariyah berpendapat sebaliknya dan dekat kepada Jabariyah, bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Manusia karena kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Al-asy’ari mengajukan konsep kasb bahwa sesuatu timbul dari al-muuktasib atau yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan. Kasb mengandung arti keaktifan dan mengandung arti bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Tetapi dengan keterangan bahwa kasb adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan. Akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Menurut Asy’ari untuk terwujudnya perbuatan perlu adanya dua daya, daya Tuhan dan daya manusia. Namun yang efektif dan aktif akhirnya daya Tuhan juga. Jadi sangat berlainan dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan. Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan, ia menyebut adanya dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi bukan sebelum perbuatan seperti kata Mu’tazilah.
Di atas ditegaskan bahwa Qadariyah dalam arti manusia bebas dalam kehendak dan kekuasaannya, bukan berarti kebebasan dan kekuasaan yang mutlak. Akan tetapi, kebebasan dan kekuasaan yang dibatasi oleh sunnatullah atau hukum alam. Dengan demikian, manusia tidak mutlak bebas dan berkuasa. Karena manusia sebagai bagian dari alam tidak mungkin mampu bertahan dengan perubahan hukum alam. Mislanya sekalipun kecenderungan manusia ingin hidup terus, namun hukum alam akan menentukan lain.
QADARIYAH
Secara etimologi Qadariyah berasal dari kata qadara-yaqdiru-qudrah. Akar kata itu mempunyai arti; kuasa, menentukan, menetapkan, meninggikan, menyamakan, dan mengukur. Qadara ‘ala al-syai, berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Qadara ‘ala al-syai bi al-sya, menyamakan atau mengukur sesuatu dengan yang  lain. Al-Qadariyah ialah suatu aliran dalam wacana teologi yang mengatakan bahwa hamba Allah SWT mempunyai kekuasaan mandiri tanpa bergantung pada Tuhan. Aliran ini dinamakan juga dengan aliran Ikhtiyariyah. Derivasi Ikhtiyariyah berasal dari akar kata ikhtara-yakhtaru-ikhtiyar, yang bermakna pilihan atau daya upaya. Akar kata Ikhtiyariyah tersebut serupa dengan bentuk dan variasi dari kata khaara-yakhiiru-khairan, yang berarti baik, memilih yang baik. Jika dikaitkan dengan pengertian teologis, Ikhtiyariyah (free will) dapat diartikan sebagai kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam memilih serta menentukan pendapatnya dalam memastikan apa saja yang dianggap lebih baik. Dalam sejarahnya, Qadariyah adalah satu dari aliran yang ada dalam kancah pemikiran Islam, muncul sebagai reaksi dari aliran Jabariyah.
Beragamnya aliran dalam Islam telah dipredeksi sebelumnya oleh Rasulullah SAW: “Suatu saat umatku akan menyerupai Bani Israil yang terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semkuanya masuk neraka, kecuali satu”. Ketika salah seorang menanyakan siapa yang satu tersebut, Nabi menjawab; “Yang aku aku dan para sahabatku pedomani”. Riwayat lain menyatakan bahwa: “Bani Israil akan terpecah menjadi tujuh puluh satu firqah, dan umatku akan terkotak-kotak menjadi tujuh puluh dua kelompok”. Kedua riwayat tersebut memstikan terjadinya banyak kelompok di tubuh umat Islam pada masa yang akan datang. Bila melihat kenyataan yang ada sekarang, prediksi yang disabdakan oleh Nabi benar adanya.
Munculnya aliran dalam Islam bermula sejak wafatnya Nabi SAW. Ketika terbetik berita bahwa Nabi meninggal, sebagian orang tidak mempercayainya dan tepat menganggap Nabi masih hidup, mereka mengatakan Allah telah mengangkatnya sebagaimana Isa ibnu Maryam diangkat oleh Allah SWT. Kemudian Abu Bakar al-Shiddiq menyatakan:
        انك ميت و انهم ميتون
sesungguhnya engkau akan mati dan merekapun mati” (QS. Al-Zumar: 3), lalu Abu Bakar menegaskan dihadapan mereka:
من كان يعبد محمدا فان محمدا قد مات, و من كان يعبد رب محمد فانه حي لا يموت
siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal, dan siapa yang menyembah Tuhannya Muhammad, sesungguhnya Ia tetap hidup”.
Sejak saat itulah dimulai perbedaan pendapat dikalangan umat Islam yang terus beruntun. Berbagai persoalanpun muncul: mengenai pemakaman Nabi; pembicaraan khalifah yaitu pengganti Nabi; dan segala permasalahan dari yang ringan hingga yang berat. Kemudian disusul dengan perbedaan ijtihad dikalangan sahabat, terutama berkaitan dengan kematian Utsman. Masalah ini makin melebar, ketika Ali bin Abi Thalib menghadapi mereka yang menuntut darah Utsman. Akibat tuntutan pihak keluarga Utsman dirasa tidak dapat dipenuhi oleh Ali, maka terjadilah perang saudara, yaitu perang Jamal. Disebut perang Jama, karena ‘Aisyah (istri Nabi) mengendarai unta (Jamal), Thalhah dan Zubair gugur. Kemudian perang antara Mu’awiyah dengan Ali di Shiffin, kemenangan hampir diraih Ali, jika ‘Amr bin Ash tidak menawakan tahkim. Ali menerimanya meskipun tidak sepenuhnya disetujui oleh pengikutnya. Akhirnya ‘Amr bin Ash memenangkan tahkim, kridibilitas Ali dimata sebagian pengikutnya berkurang, mereka yang tidak setuju dengan keputusannya, keluar dari barisan Ali, yang disebut kaum Khawarij. Kelompok inilah yang pertama muncul dalam Islam mereka umumnya ahli ibadah yang fanatik, dan memiliki pendirian yang kukuh, namun kurang memiliki pandangan ke depan. Kelompok ini mengkafirkan Utsman, Ali dan tokoh-tokoh yang menyetujui tahkim, mereka dianggap sebagai sumber fitnah. Kriteria kafir melebar kepada setiap orang yang berbuat dosa besar. Mereka yang terlibat tahkim telah berbuat dosa besar dan kafir. Oleh karena itu kelompok ini berencana membunuh mereka, terutama Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah yang dianggap sebagai biang keladinya.
Sementara pengikut yang masih loyal kepada Ali dinamakan Syi’ah, mereka setia membela Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya yang menjadi permasalahan utama berkisar tentang pembuat dosa besar. Saat hasan al-Bashri ditanya tentang pembuat dosa besar, Washil bin Atha menjawab, mereka berada di antara dua posisi, manzilah bainal manzilatain, sebelum Hasan al-Bashri sempat menjawabnya, Washil al-Bashri memisahkan diri dari kelompok Hasan al-Bashri, maka timbullah Mu’tazilah.
Masalah pembuat dosa besar berkaitan dengan perbuatan manusia. Apakan perbuatan manusia merupakan perbuatan manusia sendiri atau perbuatan Tuhan. Maka tampillah Jahm bin Sofwan dengan faham Jabariyah dan berpendapat bahwa manusia selalu dalam keadaan terpaksa, dia tidak kuasa menentang kehendak Tuhan. Manusia bagaikan bulu atau kapas yang diterbnagkan di udara. Manusia mneurut pandngan Jahm bin Sofwan ibarat wayang yang digerakkan oleh dalangnya, dia tidak memiliki kehendak bebas, semua perbuatan bersumber dari Tuhan. Disamping pandangan Jabariyah ini, Jahm juga berpendapat bahwa  tidak memiliki sifat, paham nafy shifah. Sebab dengan memberikan sifat kepada Tuhan berarti menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ia menolak sifat Tuhan seperti alîm, qadîr, mutakallim dan lain sebagainya.
Sebagai tanggapan dari paham yang dipelopori Jahm itu, muncul kelompok yang memiliki paham sebaliknya, yaitu paham Qadariyah, atau mazhab al-ikhtiyar. Mazhab ini untuk pertama kali digagas oleh Ghailan dan Ma’bad. Tokoh ini berpendapat bahwa manusia tidak berada dalam posisi terpaksa dalam aktifitasnya, menurut pandangan mereka manusia bebas memilih dan menentukan semua perbuatannya. Mengerjakan atau tidak melakukan suatu perbuatan, semuanya tergantung pada manusia itu sendiri, tidak ada urusan dengan kehendak Tuhan. Berjalan, berhenti, makan , minum, tidur, bangun, dan lain sebagainya, semua itu tergantung pada kehendak dan kemampuan masing-masing individu manusia sendiri. Manusia mampu memilih apa yang mesti dikerjakan dan apa yang harus dihindari. Sebab bila semua aktifitas manusia telah ditentukan dan dipaksakan oleh kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, berarti manusia sama dengan robot. Jika demikian, syariat yang dibebankan kepada setiap manusia tidak ada artinya, demikian juga adanya pahala dan siksa akan kehilangan relevansinya.[1]

           



[1] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, (Jakarta: Kencana, 2009), Ed. I, Cet. 2, h. 477-482.

Kajian Orientalis Terhadap Sejarah Islam

Pendahuluan
Pihak Orientalis pada pokoknya mendasarkan pembahasan tentang Islam dengan pertimbangan yang agak aneh. Dalihnya adalah menggunakan menggunakan kriteria pembahasan analitis dan ilmiah.Seseorang  seharusnya jujur dan obyektif  dalam melakukan penelitian, dan menjauhkan diri dari sikap berfikir fanatisme dan emosional untuk bisa mendapatkan sunber-sumber informasi yang terpercaya. Sebab sikap berfikir fanatic dan emosional tak memperhatikan sah atau tidaknya data-data yang diperoleh
Yang menonjol dari orientalis adalah mencari data-data tak peduli benar atau salah, asalkan bisa dipakai untuk mendukung pendapatnya, pendapat itu tentu saja yang menguntungkan misi mereka. Karenannya orientalis menarik kesimpulan yang terbalik dan sering ditemui pembahasan-pembahasan yang kontradiktif , tak serasi.
Disini kami akan memaparkan bagaimana kajian Orientalis terhadap  sejarah islam

Pembahasan
Kajian orientalis terhadap sejarah islam dilakukan oleh Philip K. Hitti (Guru besar sastra Semit di Universitas Princeton). Ia melancarkan tuduhan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang penipu yang lihai. Uraian yang dikemukakan tentang kehidupan beliau memberikan kesan pembacanya bahwa dia benar-benar penipu yang telah merencanakan tulisan itu secara cermat. Kemudian dia berpendapat bahwa Islam tidak lebih sekedar warisan orang yahudi-kristen yang diarabsasikan. Karena dengan maksud buruk untuk mendiskreditkan[1] kehidupan dan kegiatan Nabi Muhammad Saw,  dalam buku itu sama sekali tidak disebutkan mengenai ilmu hadist yang dikembangkan secara teliti dan cermat oleh Bukhari dan Muslim, dimana keduanya meneliti secara menyeluruh keabsahan setiap hadits dengan cara yang lebih cermat dibandingkan dengan penelitian terhadap dokumen-dokumen historik pada umumnya. Ketika membicarakan syariat yang berkaitan dengan poligami, pencurian, riba dan perjudian. Philip K. Hitti secara berani menyimpulkan bahwa umat islam modern praktis telah menentukan ketetapan hukum dalam Al-Qur’an.[2]
Orientalis juga mengingkari status Adam sebagai nenek moyang manusia. Mereka menganggap bahwa manusia adalah bentuk lanjut dari binatang sebagai hasil evolusi alam. Penyimpangan-penyimpangan seperti ini dikarenakan para penulis sejarah tersebut bersandar pada pemikiran saja atau mengambil referensi-referensi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Sebagai  contoh, beberapa buku  sejarah mengambil kitab taurat sebagai referensi, padahal kitab tersebut sangat diragukan keasliannya. Akibatnya, banyak pernyataan-pernyataan yang sangat janggal dan sesat, yang mendorong orang untuk menganggap sejarah nabi sebagai legenda dan mitos belaka. [3]
Banyak orientalis yang telah berusaha memutar balik esensi sejarah Islam yang telah tercatat dalam sejarah kemanusiaan pada fase-fase sejarah yang berbeda. Philip K. Hitti dengan jelas menolak adanya validiyas moral dan spiritual Islam sebagai daya tarik utama bagi masuknya pemeluk baru agama ini. Jika penjelasan mengenai perluasan Islam yang berjalan cepat itu benar-benar bersifat ekonomi, lalu bagaimana harus dijelaskan, faktor apa yang telah menginspirasi mereka untuk mendermakan harta bendanya di jalan Islam, tidak takut mati atau kelaparan?, Faktor apa yang membuat mereka tidak merasa keberatan membawa anak istri mereka ke medan tempur yang jauh dari tempat tinggal mereka?, Tidak diragukan, semua itu karena motivasi iman mereka. Seandainya motivasi para sahabat semata bersifat duniawi seperti anggapan Philip K. Hitti dan kawan-kawan orientalisnya, bagaimanakah menjelaskan fakta bahwa nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin tidak mempunyai ketamakan terhadap dunia? Seandainya mereka bertempur untuk mencari kepentingan pribadi, mereka tidak akan mempunyai disiplin, semangat juang tinggi yang menggetarkan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya serta jauh lebih lengkap persenjataannya.[4]
Masih banyak contoh bagaimana pandangan orientalis terhadap sejarah Islam. Misalnya Montgomery Watt, orientalis Inggris, memberi interpretasi tentang Jihad dari kacamata materialisme belaka, dengan mengaitkan untung ruginya. Disini dapat dilihat bahwa ternyata dia tidak bisa melihat kenyataan bahwa perlawanan paling gigih dalam menghadapi kolonialisme barat di timur, Islam merupakan motivator terpenting yang hingga saat ini masih menggema di berbagai tempat. Seandainya ucapannya benar, pasti Islam telah sirna dari muka bumi sejak lama dan tidak perlu dipelajari lagi oleh kaum orientalis.[5]
Para penulis sejarah dikalangan orientalis dan pengikutnya senantiasa menyibukkan diri dengan usaha-usaha untuk menyimpangkan sejarah islam. Penulisan sejarah islam yang dilakukan para orientalis dan pendukungnya tersebut hanya untuk menghancurkan Agama Islam dan mencemari kemurnian Aqidah Islam. Mereka berusaha menggoyahkan keyakinan manusia, terutama umat islam tentang Eksistensi Rabb alam semesta, malaikat-nya, kitab-kitabnya dan rasul-rasul-nya. Mereka menggambarkan sejarah Islam dengan memalsukan dan memutarbalikan fakta sejarah, sehingga umat Islam tidak lagi mengenai jati diri dan tujuan hidupnya. Bersamaan dengan hal itu pula, mereka berusaha menanamkan cara-cara berpikir tertentu untuk mewujudkan tujuan sesat pula.
Bernard Lewis seorang sarjana barat terkemuka sekarang ini pernah menyatakan bahwa sejarah arab yang di tulis Eropa umumnya dilakukan oleh ahli-ahli sejarah yang tidak mengetahui bahasa Arab, sedangkan penulis-penulis yang menguasai bahasa Arab tidak ahli dalam bidang sejarah, sehingga cemoohan yang mereka kemukakan memang tepat tidak seluruhnya benar.[6]
Penulisan sejarah Umat islam telah digunakan oleh para ilmuan yang menyimpan sikap antipasti terhadap Islam untuk melakukan usaha-usaha peruntuhan Agama Islam. Berbagai tipu daya, pembelokan jalannya sejarah, penyembunyian dan pemutarbalikan fakta, dikemas dalam kalimat-kalimat bermata dua dalam penulisan sejarah umat islam. Mereka menyingkirkan para Rasul dan para Nabi sebagai pelaku penting sejarah bangsa-bangsa.
Dan ketika para penulis orientalis itu menulis sirah nabi Muhammad Saw sejumlah kata berbisa menyelinap di antara rangkaian kalimat-kalimat yang indah dan penuh sanjungan. Mareka mengatakan Nabi Muhammad adalah seorang muslikhin (penganjur kebaikan) yang memperoleh banyak keuntungan dari perjuangan-perjuangan orang-orang yang mendahuluinya. Orientalis mengatakan Nabi Muhammad telah menciptakan dari agama yahudi, Nasrani dan jahili, sebuah agama baru yaitu Islam.
Konsep-konsep sejarah semacam inilah yang sekarang diajarkan di negeri-negeri Islam. Konsep sejarah yang hendak melepaskan sejarah suatu bangsa dari kaitan dakwah Islam ditengah-tengah umat bangsa itu. Melepaskan kaitan yang kokoh kuat diantara para Nabi dan Rasul yang diutus ditengah-tengah umat manusia yang berada di negeri itu. Mereka hendak memotong sejarah Islam yang terbentang ribuan tahun sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw, dan mengajak seluruh manusia untuk bersama-sama menguburkan peninggalan sejarah Pra Muhammad itu kedalam sejarah yang mereka namakan sejarah Watsani Jahili, Sejarah Kuno, Zaman Batu, dll. Sejarah semacam inilah yang mereka namakan sejarah Arab sebelum Islam. Seakan-akan sebelum kedatangan Nabi Muhammad, tidak ada Rabb, tidak ada agama Islam.[7]
Bentuk-bentuk kajian cendikiawan Barat (para Orientalis) tentang Islam, ditinjau dari tujuan-tujuannya :
Meragukan kehadiran dan kebenaran Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah dan sumber-sumbernya wahyu ilahi. Mereka secara Apriori[8] tidak mengakui Nabi Muhammad Saw sebagai pesuruh Tuhan yang menerima wahyu melalui malaikat Jibril, seperti halnya para nabi sebelum beliau. Mareka menafsirkan wahyu yang diturunkan kepada Nabi secara simpang-siur. Terkadang, lantaran waktu menerima wahyu sering gemetar dan sebagainya, mereka menafsirkan itu sebagai penyakit ayan. Diantara kaum orientalis ada yang mengatakan bahwa wahyu tersebut merupakan halusinasi Nabi Muhammad semata. Sungguh diluar sopan-santun tutur-kata seorang orientalis, mereka menuduh Nabi Muhammad berpenyakit jiwa. Terkesan seolah-olah wahyu ilahi tidak pernah turun kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad .[9]
Sebenarnya kebanyakan dari kaum orientalis adalah orang yahudi dan Nasrani, yang mengakui akan nabi-nabi yang telah disebutkan didalam kitab Taurat dan mereka kurang memperhatiakn tentang Nabi Muhammad. Maka keingkaran mereka itu disebabkan oleh ke fanatikan agama yang memenuhi jiwa mereka.
Kemudian mereka juga menyangkal Al-Qur’an sebagai kodifikasi wahyu ilahi, yang telah turunkan kepada Nabi Muhammad. Dan mereka menuduh bahwa Al-Qur’an tersebut diambil dari orang-orang yang menerangkan kepada Muhammad Saw.[10] Padahal jika mereka mau melihat adanya fakta-fakta sejarah dan cerita dulu kala yang secara komplit termuat didalam Al-Qur’an, mustahillah kitab seperti itu ditulis oleh seorang buta aksara alias Ummi[11] seperti Nabi Muhammad. Namun, kaum orientalis tetap beranggapan bahwa Al-qur’an hanyalah kumpulan cerita-cerita Nabi Muhammad. Tetapi dari segi lain, umat islam dengan kepada dingin bisa belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orientalis dibidang keagamaan, yang secara gegabah sering meletakkan keterangan-keterangan yang spekulatif dan seenaknya saja.Pengingkaran mereka selanjutnya yaitu mereka juga menyangkal Islam sebagai agama Tuhan. Bahkan Islam hanya diakui sebagai ramuan kedua agama:Yahudi dan Nasrani.[12] Dan menurut dua orang orientalis Goldziher dan Schacht mengatakan bahwa agama Islam diambil dari agama yahudi dan dipengaruhi oleh agama Yahudi. Sedangkan kaum orientalis Kristen mengikuti dakwaan orientalis yahudi tersebut, karena tak ada dalam Kristen sya’riat untuk dapat mereka mendakwakan bahwa agama Islam mengambil dari sya’riat Kristen.Hanya orientalis Kristen mendakwakan bahwa pokok-pokok akhlak Kristen mempengaruhi akhlak Islam dan masuk dalam akhlak Islam.[13]
Metode dan pendekatan
Metode yang mereka lakukan terkadang tidak konsisten bahkan jauh sikap objektif, hal ini terjadi akibat sikap emosional dan kefanatikan mereka terhadap agama yang mereka anut, sehingga ditemukan pembahasan yang kontradiktif, tidak serasi, contohnya kesimpulan Goldzier tentang hukum-hukum syariat islam yang mengatakan bahwa hukum islam tak dikenal dan tak diketahui oleh umat islam pada awal pemerintahan Islam. Bahkan hukum syariat dan sejarah islam, menurut Goldzier, juga tidak dikenal oleh para imam besar sekalipun. Meskipun dalam pendapatnya tersebut ia mengutip pendapat yang mata lemah dan tak berasal dari orang yang ahli dan dipegangi orang banyak.
Kaum orientalis bekerja untuk meneliti umat Islam dengan menempuh berbagai macam jalan. Mereka mengarahkan tenaga, keahlian, waktu dan harta. Kemudian segala hasil yang diperoleh dikembangkan dengan berbagai bentuk dan cara. Diantaranya sebagai berikut:
1.      Mengadakan perguruan bahasa Timur
2.      Mengumpulkan buku-buku tulisan tangan
3.      Mengumpulkan barang-barang lama
4.      Penelitian buku-buku tulisan tangan
5.      Penyalinan ke dalam bermacam-macam bahasa
6.      Mempelajari dan menerangkannya.[14]
Didalam buku isu Zionisme Internasional juga disebutkan berbagai metode yang digunakan oleh orientalis :
1.      Menerbitkan buku-buku islam dan tentang biografi Nabi Muhammad sebanyak mungkin
2.      Menerbitkan majalah-majalah yang khusus menyajikan soal-soal dunia islam dan peradapannya.
3.      Mengirim misi keseluruh penjuru Negara Islam dengan dalih usaha kemanusian, seperti membangun rumah sakit, panti asuhan, sekolah, usaha bantuan sosial.
4.      Menyelenggarakan ceramah diberbagai perguruan tinggi dan lembaga ilmiah. Bahkan adapula perguruan tinggi di Arab dan Negara-nagara Islam lainnya yang secara sengaja mengundang mereka untuk enyampaikan presentasi ilmiah dan kuliah umum tentang islam.
5.      Sebanyak mungkin menulis kolom (artikel) untuk Pers (surat kabat dan majalah) di Negara mereka sendiri.[15]
Kesimpulan
Dari makalah ini, penulis menarik kesimpulan bahwa Orientalis mengomentari tentang sejarah Islam dengan pikiran dia sendiri tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Agama islam menurut pandangan Orientalis cuma Arabisasian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dari agama Yahudi dan Nasrani. Orientalis juga menganggap bahwa Agama Islam hanya untuk kepentingan ekonomi saja. Tentu saja hati umat Muslim marah mendengar perkataan dari kaum orientalis mengenai sejarah Islam yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Inilah sebuah tantangan bagi kita untuk mematahkan kajian para orientalis tersebut dengan cara kita harus lebih memperdalam ilmu keislaman untuk mengantisipasi serangan orientalis terhadap umat Islam.


Daftar Pustaka
Baharun  Mohammad, Isu Zionisme Internasional, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Hadi, M. Mas’oud, dkk, Sejarah Islam dicemari Zionis dan Orientalis, Jakarta: Gema Insani Press, 1993.

Jamilah, Mariam, Islam dan orientalsime, Islam dan Orientalisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Umar, Muin, Historiografi, Jakarta: Cv. Rajawali, 1988.
Yakub, Ismail, Orientalisme dan Orientalisten, Surabaya: CV :Faizan, 1971.
Http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/03/orientalisme-dalam-berbagai bidang.html.







[1] men·dis·kre·dit·kan: (berusaha untuk) menjelekkan atau memperlemah kewibawaan seseorang atau satu pihak tertentu: selebaran berupa pamflet gelap itu bertujuan ~ Pemerintah
[2] Mariam Jamilah, Islam Dan Orientalsime, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), cet-1, h. 14-23.
[3] Jamal abdul Hadi, dkk, Sejarah Islam dicemari Zionis dan Orientalis, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 76.
[4] Http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/03/orientalisme-dalam-berbagai bidang.html. Di akses bulan November 2012
[5] Ibid.
[6] Muin Umar,  Historiografi, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1988), h. 130.
[7] Jamal Abdul Hadi, dkk, Sejarah Islam Di cemari Zionis dan orientalis, (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 75.
[8] berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki, dsb) keadaan yg sebenarnya: kita tidak boleh bersikap --
[9] Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997), h. 61.
[10] Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV: Faizan, 1971), h. 53.
[11] Seandainya Nabi bisa membaca, maka jawabannya ketika diperintahkan membaca oleh malaikat Jibril adalah, “Tulisan yang mana yang mesti aku baca!”. Tapi beliau langsung menjawab, “Aku tidak bisa membaca”. Ini artinya, jawaban itu keluar secara spontan karena sehari-harinya Nabi memang “Tidak bisa membaca!”. Bukankah Nabi orang yang jujur (al-amin)?
Berkata Al-Marwadi: "Bila ditanyakan: apakah bentuk karunia dalam hal diutusnya seorang Nabi yang ummi? Maka jawabnya adalah ada tiga bentuk. Pertama: Untuk menunjukkan sesuainya keadaan dia dengan kabar dari nabi-nabi sebelumnya.
Kedua: Agar keadaannya sesuai dengan keadaan mereka (kaumnya) sehingga lebih memungkinkan diterima.
Ketiga: Untuk menghindari buruk sangka dalam mengajarkan apa-apa yang didakwahkannya berupa kitab yang dia baca dan hikmah-hikmah yang dia sampaikan." Menurut pendapatku, semua itu merupakan dalil mukjizatnya dan bukti kenabiannya.

[12] Opcit, h. 63.
[13] Opcit, h.54.
[14] Ismail Yakub, Orientalisme dan Orientalisten, (Surabaya: CV Faizan, 1971), h. 66-70.
[15] Mohammad Baharun, Isu Zionisme Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 77-88.