SEKILAS TENTANG JABARIYAH DAN QADARIYAH
Uraian di atas merupakan dialog antara Jabariyah dan Qadariyah. Yang pertama menganggap manusia sebagai objek dan yang
kedua menempatkan manusia sebagai aktor, subjek. Implikasi psikologinya, Jabariyah memosisikan manusia sebagai
pihak yang statis, lemah dan tak berdaya, sementara Qadariyah meletakkan manusia sebagai faktor penentu bagi dirinya
sendiri, selalu aktif, dinamis, dan enerjik. Istilah Qadariyah dalam kancah
sejarah perkembangan teologi Islam timbul pada masa Bani Umayah. Penelitian
para ahli menunjukkan bahwa munculnya paham Qadariyah
untuk pertama kali dipelopori oleh Ma’bad bin Khalid al-Jauhani al-Bashri dan
Ghailan al-Dimasyqi yang mengambil aliran ini dari seorang Kristen yang telah
memeluk Islam di Irak yaitu Abu yunus Sanusiyah dari al-Asawirah.
Pandangan teologi Ghailan yang berkaitan dengan
paham al-Ikhtiyar sejalan dengan
paham Qadariyah. Yaitu seorang
berkuasa atas dirinya sendiri, dia mengerjakan kebaikan dengan kehendak dan
kemampuannya saja, meninggalkan kejelekan dan memilih berbuat kebaikan dengan
kehendak dan kekuasaannya sendiri. Paham bahwa manusia memiliki power, qudrah, kekuasaan, kemampuan,
kekuatan melaksanakan kehendaknya, yang disebut free will dan free act.
Garis besar pikiran Ghailan al-Diamsyqi berkisar
tentang: qudrah, kemampuan manuisa
atau ikhtiyar manusia; iman cukup
dengan ma’rifah dan pengakuan secara
lisan, amal perbuatan manusia bukan merupakan bagian dari iman seseorang;
kemakhlukan Al-Qur’ân; nafy shifah;
otoritas kepemimpinan bukan hanya milik kaum Quraisy, namun terbuka bagi setiap
muslim yang berpegang teguh kepada Al-Qur’ân dan al-Sunnah serta restu umat
Islam. Namun, pandangan yang menonjol mengenai al-qadar. Pendirian tersebut yang mengantarkannya kepada
kematiannya. Timbul suatu pertanyaan dari mana Ghailan memperoleh pandangan Qadariyah tersebut? Para ahli sejarah
ilmu kalam diantaranya Ibnu Nabatah mengatakan bahwa Ghailan adalah orang yang
pertama sekali membicarakan mengenai al-qadar.
Menurut al-Maqrizi orang yang pertama kali
memperbincangkan al-qadar adalah
Ma’bad bin Khalidal-Juhani. Namun pendapat ekstrem Ibnu al-Murtadha mengatakan
bahwa Ghailan memperoleh pandangan tentang al-qadar
dari al-Hasan bin Muhammad bin Al-Hanafiyah. Al-Maqrizi menmbahkan bahwa asal
mula pembicaraan mengenai al-qadar
dating dari seorang Irak Kristen yang telah memelik Islam; Abu Yunus. Jika
benar, maka sumber pandangan Ghailan tentang al-qadar datang dari umat lain yang meresap kedalam Islam.
Selanjutnya wacana Qadariyah selalu menjadi ajang
perdebatan dikalangan teolog Islam. Al-Jubbai’ seorang tokoh Mu’tazilah
menerangkan bahwa manusialah yang berkuasa dan bebas menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Daya istitha’ah,
power untuk mewujudkan keehendak itu telah terdapat dalam diri manusia
sebelum adanya perbuatan. Pendapatnya sejalan dengan tokoh Mu’tazilah yang
lain, Abdul Jabbar, bahwa perbuatan manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan pada
diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Tuhan
menciptakan daya pada manusia dan pada daya inilah bergantung perbuatan, bukan
Tuhan yang mewujudkan perbuatan manusia.
Sementara
Asy’ariyah berpendapat sebaliknya dan dekat kepada Jabariyah, bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan oleh
Tuhan. Manusia karena kelemahannya banyak bergantung kepada kehendak dan
kekuasaan Tuhan. Al-asy’ari mengajukan konsep kasb bahwa sesuatu timbul dari al-muuktasib
atau yang memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan. Kasb mengandung arti keaktifan dan
mengandung arti bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Tetapi dengan
keterangan bahwa kasb adalah ciptaan
Tuhan, menghilangkan arti keaktifan. Akhirnya manusia bersifat pasif dalam
perbuatan-perbuatannya.
Menurut Asy’ari
untuk terwujudnya perbuatan perlu adanya dua daya, daya Tuhan dan daya manusia.
Namun yang efektif dan aktif akhirnya daya Tuhan juga. Jadi sangat berlainan
dengan Mu’tazilah, Asy’ariyah berpendapat bahwa kemauan dan daya untuk berbuat
adalah kemauan dan daya Tuhan dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan.
Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan, ia menyebut
adanya dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Daya diciptakan
bersama-sama dengan perbuatan, jadi bukan sebelum perbuatan seperti kata
Mu’tazilah.
Di atas ditegaskan bahwa Qadariyah dalam arti manusia bebas dalam kehendak dan kekuasaannya,
bukan berarti kebebasan dan kekuasaan yang mutlak. Akan tetapi, kebebasan dan
kekuasaan yang dibatasi oleh sunnatullah
atau hukum alam. Dengan demikian, manusia tidak mutlak bebas dan berkuasa.
Karena manusia sebagai bagian dari alam tidak mungkin mampu bertahan dengan
perubahan hukum alam. Mislanya sekalipun kecenderungan manusia ingin hidup
terus, namun hukum alam akan menentukan lain.
QADARIYAH
Secara etimologi Qadariyah berasal dari kata qadara-yaqdiru-qudrah.
Akar kata itu mempunyai arti; kuasa, menentukan, menetapkan, meninggikan,
menyamakan, dan mengukur. Qadara ‘ala al-syai, berarti kuasa mengerjakan
sesuatu. Qadara ‘ala al-syai bi al-sya, menyamakan atau mengukur sesuatu
dengan yang lain. Al-Qadariyah ialah
suatu aliran dalam wacana teologi yang mengatakan bahwa hamba Allah SWT
mempunyai kekuasaan mandiri tanpa bergantung pada Tuhan. Aliran ini dinamakan
juga dengan aliran Ikhtiyariyah. Derivasi Ikhtiyariyah berasal
dari akar kata ikhtara-yakhtaru-ikhtiyar, yang bermakna pilihan atau
daya upaya. Akar kata Ikhtiyariyah tersebut serupa dengan bentuk dan
variasi dari kata khaara-yakhiiru-khairan, yang berarti baik, memilih
yang baik. Jika dikaitkan dengan pengertian teologis, Ikhtiyariyah (free
will) dapat diartikan sebagai kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam
memilih serta menentukan pendapatnya dalam memastikan apa saja yang dianggap
lebih baik. Dalam sejarahnya, Qadariyah adalah satu dari aliran yang ada
dalam kancah pemikiran Islam, muncul sebagai reaksi dari aliran Jabariyah.
Beragamnya aliran dalam Islam telah dipredeksi sebelumnya
oleh Rasulullah SAW: “Suatu saat umatku akan menyerupai Bani Israil yang
terpecah-pecah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, semkuanya masuk neraka, kecuali satu”.
Ketika salah seorang menanyakan siapa yang satu tersebut, Nabi menjawab; “Yang
aku aku dan para sahabatku pedomani”. Riwayat lain menyatakan bahwa: “Bani
Israil akan terpecah menjadi tujuh puluh satu firqah, dan umatku akan terkotak-kotak
menjadi tujuh puluh dua kelompok”. Kedua riwayat tersebut memstikan terjadinya
banyak kelompok di tubuh umat Islam pada masa yang akan datang. Bila melihat
kenyataan yang ada sekarang, prediksi yang disabdakan oleh Nabi benar adanya.
Munculnya aliran dalam Islam bermula sejak wafatnya Nabi
SAW. Ketika terbetik berita bahwa Nabi meninggal, sebagian orang tidak
mempercayainya dan tepat menganggap Nabi masih hidup, mereka mengatakan Allah
telah mengangkatnya sebagaimana Isa ibnu Maryam diangkat oleh Allah SWT.
Kemudian Abu Bakar al-Shiddiq menyatakan:
انك ميت و انهم ميتون
“sesungguhnya engkau akan mati dan merekapun mati”
(QS. Al-Zumar: 3), lalu Abu Bakar menegaskan dihadapan mereka:
من
كان يعبد محمدا فان محمدا قد مات, و من كان يعبد رب محمد فانه حي لا يموت
“siapa yang menyembah Muhammad, maka
sesungguhnya Muhammad telah meninggal, dan siapa yang menyembah Tuhannya
Muhammad, sesungguhnya Ia tetap hidup”.
Sejak saat itulah dimulai perbedaan pendapat dikalangan
umat Islam yang terus beruntun. Berbagai persoalanpun muncul: mengenai
pemakaman Nabi; pembicaraan khalifah yaitu pengganti Nabi; dan segala
permasalahan dari yang ringan hingga yang berat. Kemudian disusul dengan
perbedaan ijtihad dikalangan sahabat, terutama berkaitan dengan kematian
Utsman. Masalah ini makin melebar, ketika Ali bin Abi Thalib menghadapi mereka
yang menuntut darah Utsman. Akibat tuntutan pihak keluarga Utsman dirasa tidak
dapat dipenuhi oleh Ali, maka terjadilah perang saudara, yaitu perang Jamal.
Disebut perang Jama, karena ‘Aisyah (istri Nabi) mengendarai unta (Jamal),
Thalhah dan Zubair gugur. Kemudian perang antara Mu’awiyah dengan Ali di
Shiffin, kemenangan hampir diraih Ali, jika ‘Amr bin Ash tidak menawakan tahkim.
Ali menerimanya meskipun tidak sepenuhnya disetujui oleh pengikutnya. Akhirnya
‘Amr bin Ash memenangkan tahkim, kridibilitas Ali dimata sebagian
pengikutnya berkurang, mereka yang tidak setuju dengan keputusannya, keluar
dari barisan Ali, yang disebut kaum Khawarij. Kelompok inilah yang
pertama muncul dalam Islam mereka umumnya ahli ibadah yang fanatik, dan
memiliki pendirian yang kukuh, namun kurang memiliki pandangan ke depan.
Kelompok ini mengkafirkan Utsman, Ali dan tokoh-tokoh yang menyetujui tahkim,
mereka dianggap sebagai sumber fitnah. Kriteria kafir melebar kepada setiap
orang yang berbuat dosa besar. Mereka yang terlibat tahkim telah berbuat
dosa besar dan kafir. Oleh karena itu kelompok ini berencana membunuh mereka,
terutama Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah yang dianggap
sebagai biang keladinya.
Sementara pengikut yang masih loyal kepada Ali dinamakan Syi’ah,
mereka setia membela Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya yang menjadi permasalahan
utama berkisar tentang pembuat dosa besar. Saat hasan al-Bashri ditanya tentang
pembuat dosa besar, Washil bin Atha menjawab, mereka berada di antara dua
posisi, manzilah bainal manzilatain, sebelum Hasan al-Bashri sempat
menjawabnya, Washil al-Bashri memisahkan diri dari kelompok Hasan al-Bashri,
maka timbullah Mu’tazilah.
Masalah pembuat dosa besar berkaitan dengan perbuatan
manusia. Apakan perbuatan manusia merupakan perbuatan manusia sendiri atau
perbuatan Tuhan. Maka tampillah Jahm bin Sofwan dengan faham Jabariyah
dan berpendapat bahwa manusia selalu dalam keadaan terpaksa, dia tidak kuasa
menentang kehendak Tuhan. Manusia bagaikan bulu atau kapas yang diterbnagkan di
udara. Manusia mneurut pandngan Jahm bin Sofwan ibarat wayang yang digerakkan
oleh dalangnya, dia tidak memiliki kehendak bebas, semua perbuatan bersumber
dari Tuhan. Disamping pandangan Jabariyah ini, Jahm juga berpendapat
bahwa tidak memiliki sifat, paham nafy
shifah. Sebab dengan memberikan sifat kepada Tuhan berarti menyerupakan
Tuhan dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ia menolak sifat Tuhan seperti alîm,
qadîr, mutakallim dan lain sebagainya.
Sebagai tanggapan dari paham yang dipelopori Jahm itu,
muncul kelompok yang memiliki paham sebaliknya, yaitu paham Qadariyah,
atau mazhab al-ikhtiyar. Mazhab ini untuk pertama kali digagas oleh
Ghailan dan Ma’bad. Tokoh ini berpendapat bahwa manusia tidak berada dalam
posisi terpaksa dalam aktifitasnya, menurut pandangan mereka manusia bebas
memilih dan menentukan semua perbuatannya. Mengerjakan atau tidak melakukan
suatu perbuatan, semuanya tergantung pada manusia itu sendiri, tidak ada urusan
dengan kehendak Tuhan. Berjalan, berhenti, makan , minum, tidur, bangun, dan
lain sebagainya, semua itu tergantung pada kehendak dan kemampuan masing-masing
individu manusia sendiri. Manusia mampu memilih apa yang mesti dikerjakan dan
apa yang harus dihindari. Sebab bila semua aktifitas manusia telah ditentukan
dan dipaksakan oleh kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, berarti manusia sama
dengan robot. Jika demikian, syariat yang dibebankan kepada setiap manusia
tidak ada artinya, demikian juga adanya pahala dan siksa akan kehilangan
relevansinya.[1]
[1] Syahrin
Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Akidah Islam, (Jakarta:
Kencana, 2009), Ed. I, Cet. 2, h. 477-482.